Puji Suci Marang Gusti,Kawulo Tansah Ngabekti...

Selasa, 27 September 2011

TATA CARA SEMEDI/MEDITASI

Semedi ( Meditasi )
Banyak istilah yang bisa dipakai untuk
menggambarkan perilaku khas ini. Semedi kata orang
Jawa. Meditasi. Maladihening. Neng, ning, nung.
Kotemplasi. Tafakur. Dan…..mungkin masih ada banyak
istilah yang maksudnya sepadan.
Bermacam cara orang melakukan meditasi. Berbagai
tujuan pula yang hendak diraih. Untuk kali ini kita
akan berbincang dengan memfokuskan pada tiga hal
yaitu pencarian kesejatian diri, alam gaib dan
‘penemuan’ dengan “Sang Maha Ada”.
Saya kutip dulu dari ajaran Wirid / Semedi
MALADIHENING yang diajarkan Eyang Guru saya,demikian
tatacaranya :
1. Posisi badan telentang menghadap ke atas, seperti
mau tidur. Jangan ada anggota badan yang posisinya
kurang nyaman. Seluruh anggota badan “jatuh”
menempel di pembaringan tanpa ada penahanan
sedikitpun. Seluruh otot dan syaraf harus rileks atau
loss. Bisa juga dipakai posisi duduk bersila.
2. Tangan sedekap atau ’sendakep’ dengan posisi
lengan atas tetap menempel di lantai/tempat
berbaring sementara lengan bawah diletakkan di atas
dada. Jari-jari tangan saling mengunci ( jari diadu
dengan jari merapat ). Atau bisa juga agar lebih rileks,
tangan diluruskan ke bawah (arah kaki), kedua
telapak tangan menempel di paha kiri kanan sebelah
luar.
3. Mata terpejam seakan anda sedang bersiap
menidurkan diri. Bola mata tidak boleh bergerak-gerak,
tahan dalam posisi pejam dan bola mata diam tidak
bergerak, disebut meleng, meneng. Ketika
memejamkan mata ini bola mata diarahkan ke arah
puncak hidung ( mandeng puncaking grono )
4. Kaki lurus dan rileks, telapak kaki kanan
ditumpangkan di atas telapak kaki kiri disebut
sedakep suku tunggal.
Mengumpulkan atau Mengatur Pernafasan.
Tarik pelan nafas melalui hidung sampai di perut, lebih
tepatnya lagi sampai di puser. Tahan. Bawa naik ke
atas terus sampai ubun-ubun. Tahan. Baru bawa ke
bawah samapi mulut dan lepaskan. Lakukan berulang-
ulang. Bawa atau tarik naik turunnya nafas dengan
‘rasa kesadaran’. Ketika ini lidah hendaknya ditekuk ke
atas, ke ‘cethak’. Lakukan beberapa kali ulangan.
Ketika ini harus dibarengi ingat kepada Allah. Cara
praktisnya yaitu ketika menarik nafas hati menyebut
“HU” dan ketika melepas nafas hati menyebut
“ALLAH”.
Lafal HU merujuk pada ADA-Nya, atau Dzat-Nya atau
Pribadi-Nya. Sedangkan lafal ALLAH merujuk pada
Nama-Nya atau panggilan-Nya.
Kemudian pikiran dikosongkan, tidak memikirkan apa-
apa. Obyek pikir atau lebih tepatnya ‘kesadaran rasa
kita’, kita fokuskan ke arah puncak hidung ( yaitu
diantara dua mata kita ). Maka akan nampak cahaya
berpendar. Semakin terang. Kita ikuti denga kesadaran
rasa kita. seakan ada lorong yang panjang bercahaya
keperakan. Kita ikuti saja. Nah…plong…kita atau lebih
tepatnya kesadaran diri kita yang sejati sudah bebas
dari tubuh kita. Sensasi ini yang oleh kebanyakan
orang disebut ‘meraga sukma’ atau ngrogo sukmo.
Nah sampai pada batas ini menjadi sangat krusial.
Karena apa ? Karena apapun yang kita niatkan akan
’sampai’. Artinya obyek kesadaran menjadi sangat
penting. Jika kesadaran Anda kepada alam gaibnya jin
maka otomatis ’sinyal gelombang energi’ Anda akan
bersambung dengan alam jin. Jika obyek kesadaran
Anda adalah para ruh nenek-moyang atau leluhur
maka Anda akan berjumpa dengan leluhur Anda.
Ada satu hal yang sangat penting di sini. Apakah kita
hanya akan ‘mengurusi’ soal benda dan makhluk
saja ? Apakah kesadaran kita akan hanya kita tujukan
untuk mencari ‘ada’ yang bisa rusak dan tidak hakiki
( makhluk ) saja ? Tidakkah kita ingin ‘menjumpai’ Dia
Sang Maha Ada yang tidak akan rusak binasa ( Al-
Kholiq ) ? Dia yang telah menciptakan kita dan juga
alam ini. Dia Yang Maha Ada yang menjadi ‘tempat’
kita berpulang atau kembali nanti.
Mari bertafakur yang sejati. Menemukan-Nya di diri
kita dan juga di diri-diri yang lain. Di diri alam semesta.
Sejatinya dimanapun ‘ada’ itu ada maka disitulah Sang
Maha Ada itu ada. Dia meliputi segala sesuatu. Justru
jika kesadaran kita terhenti pada diri kita saja maka
yang kita temui adalah hanya diri kita. Jika kesadaran
kita ada pada alam jin maka yang kita temui adalah
jin. Jika kesadaran kita ada pada-Nya, bahkan
harusnya itu ’sadar penuh’ maka kita akan ketemu
dengan Dia, Sang Sangkan Paraning Dumadi. Tentu
bertemu dengan-Nya secara tan kinoyo ngopo, laisa
kamitslihi syai’un, tidak bisa digambarkan dengan apa
dan bagaimana.
Salah satu bentuk semedi yang paling dasar dan alami
adalah tidur. Ketika kita tidur maka hakekatnya sama
dengan mati. Ketika tidur inilah diri kita kembali
berada dalam ‘genggaman’-Nya. Nah bayangkan
sendiri jika kita bisa tidur secara ‘advance’. Yaitu badan
kita tidur terlelap namun kesadaran kita bisa tetap
’sadar’ mengikuti kesadaran ‘ruh’ kita yang merupakan
‘min Ruhi’.
Ada lagi semedi dalam bentuk yang sudah ‘advance’
yaitu sholat. Namun sholat dalam pengertian yang
sebenar-benarnya yaitu bukan hanya manembahing
rogo, tetapi juga manembahing rahsa ( sir ) dan
sukma ( ruh ).
Salam Ilmu Sejati,Puji Suci marang Gusti kawulo tansah ngabekti.

MEDITASI 7 CAKRA & OLAH SEMEDI

Meditasi dibagi dalam dua alur besar. Yakni
meditasi mikorokosmos atau pemusatan
konsentrasi pada jagad alit yakni unsur-unsur
yang ada dalam diri tubuh kita. Dan meditasi
makrokosmos atau meditasi jagad ageng.

Meditasi cakra merupakan subsistem dari
meditasi mikrokosmos.

CAKRA DASAR, ROOT CHAKRA, Jayengdriyo,
Muladhara :
Cakra pertama. Terletak di dasar tulang
belakang, berfungsi meningkatkan
kemampuan kita dalam bertahan hidup dan
beradaptasi. Cakra ini sekali terbuka akan
memberikan stabilitas yang kita perlukan
untuk memikul beban kita sehari-hari. Ketika
cakra dasar ini masih tertutup akan membuat
kita takut pada perubahan. Tetapi sekali
terbuka akan menciptakan peluang bagi kita
untuk menggapai kesempatan merasakan
indahnya kehidupan serta suatu kenikmatan
dan anugrah yang menakjubkan dalam
kehidupan ini.
SEXUAL CHAKRA, JANALOKA atau
Swadhishtana:
Cakra kedua ini terletak di balik wilayah alat
genital. Sepadan dengan bait al-mukadas.
Cakra ini berkaitan dengan energi dan gairah
seksual. Apabila energi mengalir bebas
diwilayah ini akan membawa energi positif
dalam hidup kita. Penyumbatan di daerah ini
dapat mengakibatkan masalah seksualdan
reproduksi yang akan menghambat energi
mengalir bebas dan menyebabkan energi
negatif dalam hidup kita.
CAKRA PUSAR, NAVEL CHAKRA atau
Manipura :
Cakra ketiga. Cakra ini hubungannya dengan
energi dan terletak di bawah pusar. Cakra ini
merupakan pusat kekuatan tubuhdan
merupakan titik luncur untuk energi prana.
Meditasi pada cakra ini akan membawa energi
besar dan dapat digunakan untuk menyerap
energi yang besar pula. Biasanya meditasi
cakra pusar secara efektif diterapkan untuk
membangkitkan “tenaga dalam” dan untuk
penyerapan energi alam seperti energi ombak
laut, energi angin, energi api, energi matahari,
energi rembulan, energi bumi dsb.
CAKRA HATI, HEART CHAKRA atau
Anahata :
Cakra keempat. Sepadan dengan bait al-
muharam. Panggulunganing raosing karsa.
Cakra hati terletak persis di daerah jantung-
hati dan berhubungan dengan kebaikan yang
besar dan cinta kasih. Meditasi pada cakra ini
dapat memiliki pengalaman batin yang
mendalam dan membuka hati untuk dapat
merasakan keindahan sejati dalam memahami
alam
semesta. Cakra ini berfungsi pula untuk
menghubungkan antara pikiran (kesadaran)
tubuh (ragawi) dengan kesadaran jiwa (batin).
CAKRA TENGGOROKAN, THROAT CHAKRA
atau Vishuddha :
Cakra kelima. Sepadan dengan bait al-
makmur. Titik energi cakra ini terletak di dasar
tengkorak. Pusat energi ini terutama terkait
dengan kemampuan kita untuk
mengekspresikan diri kita sendiri dan juga
memiliki dampak langsung pada sistem
kelenjar kita. Membuka cakra ini akan
membantu mereka yang memiliki kendala sulit
berkomunikasi.
CAKRA ALIS, BROW CHAKRA, PAPASU, atau
Ajna :
Disebut pula cakra keenam. Alam papat
(empat); sukma wisesa (alam nuriah), sukma
purba (alam siriyah), sukma langgeng (alam
hidayat), sukma luhur (alam jamma). Cakra ini
terletak di antara kedua alis mata, disebut
juga sebagai mata ketiga. Sebagai titik di
mana alam pikiran sadar dan alam pikiran
bawah sadar datang bersama-sama untuk
membuka kemampuan kita secara psikhis
(innerworld) dan intuitif (kebatinan).
Meditasi pada cakra mata ketiga (third eye) ini
paling digemari para pemula meditasi. Karena
diperolehnya wawasan yang dalam dan luas
bahkan mata ketiga dapat mulai terbuka.
Memungkinkan seseorang dapat melihat
dimensi gaib dengan mata batinnya (third eye
vision).
CAKRA MAHKOTA, CROWN CHAKRA, atau
Mahasrara :
Disebut pula sebagai cakra ketujuh. Alam
langgeng, Uluhiah, Sang Jati. Ini dianggap
sebagai chakra rohani, di mana orang dapat
menemukan kebijaksanaan yang sejati di
mana pengetahuan lahir dan batin,
pengalaman fisik dan metafisik, wadag dan
gaib, semua dapat dialaminya.
Cakra ini sebagai titik energi di mana
pencerahan sejati dan bentuk realisasi diri
dapat terjadi. Dalam tradisi Jawa, mengasah
cakra mahkota dapat menjadikan seseorang
menjadi Permana Jati. Yakni mampu weruh
sadurunge winarah atau mampu melihat
sesuatu yang bersifat futuristik, dan weruh
kasunyatan jati atau mengetahui kenyataan
sesungguhnya apa yang sebenarnya terjadi di
alam fana (jagad wadag) dan alam keabadian
(jagad gaib). Dapat dikatakan, terbukanya
cakra mahkota dapat membuat seseorang
menyaksikan dan memahami suatu
kenyataan, baik sesuatu secara fisik maupun
gaib. Oleh karena itu terbukanya cakra
mahkota dapat meraih ngelmu kasunyatan
(pengetahuan yang nyata) yang meliputi
wahana fisik dan gaib. Kita jadi tahu apa yang
sesungguhnya terjadi sekalipun di alam gaib.
Oleh sebab itu, bermeditasi pada cakra ini
akan menghasilkan efek yang mendalam dan
harus didekati dengan cara hati-hati dan
dibekali pemahaman yang memadai. Karena
bisa jadi pelaku meditasi akan terkejut dan
bingung melihat kasunyatan gaib (realitas
gaib), ternyata tidak sesuai dengan apa
yang tidak sekedar diyakininya (ujare,
katanya) selama ini. Dalam spiritual Jawa
seseorang yang dapat menerima “Wahyu
Keprabon” atau wahyu kepemimpinan
(wahyu singgasana kekuasaan untuk menjadi
RI-1) atau dalam pewayangan dinamakan
“Wahyu Makutarama” hanyalah orang-orang
yang sudah terbuka cakra ketujuhnya.
Sehingga akan membawa keberhasilan
seorang Presiden dalam masa
kepemimpinannya.
Meditasi merupakan PEMUSATAN PIKIRAN,
mengkonsentrasikan DAYA CIPTA pada satu
titik yang ada di dalam tubuh kita. Arah
pemusatannya melalui jalan sugesti atau saran
dari kekuatan
pikiran. Pemusatan pikiran pada
satu hal saja yakni pada cakra-cakra yang
ingin dibuka atau dibangkitkan.
Sementara itu, olah semedi merupakan
penghentian atas semua gerak-gerik cipta.
Digantikan dengan PEMUSATAN pada RAHSA
atau rasasejati untuk memahami sejatining
rasa pangrasa. Pemusatan rasa akan terjadi
setelah kita MELEPAS SEMUA KEGIATAN PIKIR-
MEMIKIR. Sehingga akan dicapai keadaan
“suwung” atau kosong dari segala pikiran dan
kemudian masuk (manjing) ke dalam
keheningan batin yang “suwung” (awang
uwung). Duwe rasa ora duwe rasa duwe,
atau “punya rasa, tidak punya rasa punya”.
Nah, untuk meraih keberhasilan dalam
membuka cakra ketujuh, Anda harus
melakukan olah semedi.
UNIVERSAL VALUE
Meditasi pada cakra-cakra kita merupakan
cara yang efektif untuk membangun energi
dan meraih kesadaran spiritual. Ada tiga cakra
yang harus kita konsentrasikan untuk meraih
keberhasilan. Hal ini akan membuahkan hasil
terbesar serta meningkatkan kesadaran
dimensi kita dalam waktu sesingkat mungkin.
Ini sangat dibutuhkan bagi siapapun yang ingin
meraih
kesembangan yang lebih baik.
Keseimbangan diri dengan dimensi sosial (self
& social dimension), diri dengan alam
(microcosmos & macrocosmos). Orang yang
meraih “keseimbangan” akan berada dalam
irama yang harmoni. Yakni orang-orang yang
selalu memperoleh berkah dan anugrah,
yang selalu menebar berkah dan anugrah
kepada seluruh makhluk. Itulah orang yang
meraih derajat kemuliaan. DERAJAT
KEMULIAAN ditentukan oleh apa yang
diperbuat seseorang selama hidupnya. Apakah
Anda percaya, jika kondisi seseorang
menjelang ajal termasuk mencerminkan
derajat kemuliaannya? Sudah berapa kali
Anda menunggui orang di saat menjelang
ajal? Cobalah cermati dgn kepekaan mata
hati, dengan kebeningan mata batin, ternyata
“keyakinan” seseorang tidak berhubungan
langsung dengan kondisi akhir saat sakaratul
maut tiba. Yang menentukan derajat tetap saj
perbuatan. Bagi yang tak percaya boleh saja
toh kelak akan membuktikan sendiri pada
waktu yang sudah terlambat. Keyakinan yang
dianut sebagai sarana pendidikan untuk
membangun budi pekerti luhur bagi
penganutnya. Budi pekerti menentukan “corak
warna” apa yang diperbuat oleh seseorang.
“Corak warna” perbuatan setiap orang lah
yang pada akhirnya menentukan derajat
kemuliaan. Yang ada adalah ngunduh uwohing
pakarti, atau menuai buah budi pekerti, bukan
ngunduh uwohing agami. Karena agami
berfungsi sebagai salah satu “media tanam”
bagi tumbuhnya “tanaman” bernama budi
pekerti luhur.
Meditasi cakra merupakan salah satu cara di
antara milyaran cara yang dapat dilakukan
manusia untuk menggapai level keluhuran
budi pekerti, untuk meraih derajat kemuliaan
hidup yang tinggi. Seseorang yang telah
terbuka cakra mahkotanya, ialah orang yang
telah mencapai maqom ke 7. Tentu saja
derajat maqom ini akan tercermin dalam pola
pikir, segala sikap, dan tindak perbuatannya.
Sebaliknya fanatisme terhadap suatu agama,
budaya, dan falsafah hidup barulah
mencerminkan terbukanya cakra level dasar.
Celakanya, orang-orang yang baru terbuka
cakra dasarnya biasanya justru bersikap
seolah sudah menggapai maqom ke tujuh.
Sudah merupakan hukum alam bahwa “air
beriak tanda tak dalam,padi yg tidak merunduk tanda tidak berisi”.

LAKON BIMO SUCI

Lakon ini amat digemari di kalangan kasepuhan
karena mengandung permenungan mendalam
tentang asal dan tujuan hidup manusia (sangkan
paraning dumadi) dan menjawab kerinduan hidup
dalam perjalanan rohani orang jawa untuk bersatu
dengan Tuhan (manunggaling kawulo Gusti; curiga
manjing warangko).
Begitu disenangi dan diulang-ulang sebagai bahan
permenungan, maka kisah ini memilik variasi-variasi
bahkan menyimpang dari lakon awalnya, tergantung
siapa yang menyalin kisah ini, siapa dalang yang
memainkan lakon dalam pertunjukan wayang.
Poerbotjaroko, tahun 1940 menyelidiki variasi-variasi
naskah dan menemukan kurang lebih 29 buah naskah
Bima Suci. 19 buah naskah tersimpan di Universitas
Leiden Belanda.
Dalam disertasinya untuk memperoleh gelar doctor
tahun 1930, Prijohoetomo membandingkan dua kisah :
Nawaruci dan Dewaruci. Kitab Nawaruci yang juga
dikenal dengan nama Sang Hyang Tat-twajnana
(kitab tentang hakekat hidup) ditulis oleh Empu
Siwamurti (th. 1950-an) dengann latar belakang
budaya Kerajaan Majapahit. Pada jaman itu mistik
Islam mulai masuk dalam budaya Jawa, dan kisah
Nawaruci digubah menjadi lakon Dewaruci (dengan
dimasuki unsur-unsur Islam) dan dipentaskan dalam
dunia perwayangan.
Alur ceritera Dewaruci/Bima Suci dipengaruhi oleh
kisah Markandeya dari India. Di kisahkan Markandeya
mengarungi kedalam samudera dan berjumpa dengan
anak kecil. Anak kecil itu bernama Narayana, jelmaan
dari Dewa Wisnu. Narayana meminta Markandeya
masuk dalam tubuhnya untuk menyaksikan seluruh isi
alam semesta. Dalam kisah ini tokoh Bima tidak ada.
Dari berbagai kisah Bima Suci yang bervariatif itu
dapat ditemukan benang merahnya.
Alkisah, Bima atas perintah gurunya (Durno) mencari
“Banyu Perwitasari”. Dalam perjalanan mencari air
kehidupan, Bima menuju hutan Tikbrasara (berarti
landeping cipta) yang terletak di gunung ReksaMuka
(yang artinya Mata). Di hutan ini Bima dihadang oleh
dua raksasa Rukmuka (berarti kamukten) dan
Rukmokala (yang berarti Kamulyan). Bima mampu
mengalahkan ke dua raksasa itu.
Untuk memperoleh “inti sari pengetahuan
sejati” (Perwitasari), Bima harus melalui samadi (yang
dilambang dengan hutan Tibaksara dan gunung
Reksomuka =Mata/pemahaman yang mendalam).
Bima tidak bisa mencapai titik penyatuan mata batin
dalam samadi kalau tidak ‘membunuh’ pikiran tentang
kamukten dan kamulyan.
Kisah selanjutnya, Bima tahu bahwa air ‘perwitasari’
tidak terletak di hutan Tikbrasara yang ada di gunung
Reksamuka, tetapi di dasar samudera. Maka
perjalanan dilanjutkan ke dasar samudra (samudra
pangaksama=pengampunan). Dalam samudra
bertarung dengan naga (symbol kejahatan/
keburukan) dan Bima berhasil membunuhnya.
Untuk memperoleh air perwitasari tidak cukup dengan
membuang kamukten dan kamulyan tetapi harus
juga berani mengampuni kepada orang-orang yang
bersalah dan membunuh kejahatan yang ada dalam
dirinya (masuk samudra pengampunan dan
membunuh naga kejahatan).
Setelah melampaui berbagai rintangan, akhirnya Bima
ketemu Dewaruci, yang persis dengan dirinya namun
dalam ukuran kecil. Bima masuk ke badan Dewaruci
melalui telinga kanan dan di dalam diri Dewaruci,
Bima melihat seluruh isi semesta alam.
Bima dengan samadi secara benar : menutup mata,
mengatur nafas, konsentrasi dengan pikiran dan
perasaan yang bersih (Cipta Hening). Dalam samadi
ini, Bima menerima Terang atau wahyu sejati dalam
samadi: “manunggaling kawula gusti”, kesatuan
manusia dengan Tuhan. Dalam jati diri terdalam,
manusia bersatu dengan Tuhan. Kemanunggalan ini
yang menjadikan manusia mampu melihat hidup
yang sejati. Dalam istilah kejawen: Mati sakjroning
urip, urip sakjroning mati. Inilah perjalanan rohani
untuk masuk dalam “samudera menanging kalbu”.

SANGKAN PARANING DUMADI

Dalam hidup ini, manusia senantiasa
diingatkan untuk memahami filosofi Kejawen
yang berbunyi “Sangkan Paraning Dumadi”.
Apa sebenarnya Sangkan Paraning Dumadi?
Tidak banyak orang yang mengetahuinya.
Padahal, jika kita belajar tentang Sangkan
Paraning Dumadi, maka kita akan
mengetahuikemana tujuan kita setelah hidup
kita berada di akhir hayat. Manus…ia sering
diajari filosofi Sangkan Paraning Dumadi itu
ketika merayakan Hari Raya Idul Fitri. Biasanya
masyarakat Indonesia lebih suka
menghabiskan waktu hari raya Idul Fitri
dengan mudik. Nah, mudik itulah yang
menjadi pemahaman filosofi Sangkan Paraning
Dumadi. Ketika mudik, kita dituntut untuk
memahami dari mana dulu kita berasal, dan
akan kemanakah hidup kita ini nantinya.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak
tembang dhandanggula warisan para leluhur
yang sampai detik ini masih terus
dikumandangkan.
Kawruhana sejatining urip Urip ana jroning
alam donya Bebasane mampir ngombe
Umpama manuk mabur Lunga saka kurungan
neki Pundi pencokan benjang Awja kongsi
kaleru Umpama lunga sesanja Najan-
sinanjan ora wurung bakal mulih Mulih mula
mulanya
Ketahuilah sejatinya hidup,
Hidup di dalam alam dunia,
Ibarat perumpamaan mampir minum,
Seumpama burung terbang,
Pergi dari kurungannya,
Dimana hinggapnya besok,
Jangan sampai keliru,
Umpama orang pergi bertandang,
Saling bertandang, yang pasti bakal pulang,
Pulang ke asal mulanya,
Kemanakah kita bakal ‘pulang’? Kemanakah
setelah kita ‘mampir ngombe’ di dunia ini?
Dimana tempat hinggap kita andai melesat
terbang dari ‘kurungan’ (badan jasmani) dunia
ini? Kemanakah aku hendak pulang setelah
aku pergi bertandang ke dunia ini? Itu adalah
suatu pertanyaan besar yang sering hinggap di
benak orang-orang yang mencari ilmu sejati.
Yang jelas, beberapa pertanyaan itu
menunjukkan bahwa dunia ini bukanlah
tempat yang langgeng. Hidup di dunia ini
hanya sementara saja. Oleh karena itu, tidak
ada salahnya jika kita menyimak tembang
dari Syech Siti Jenar yang digubah oleh Raden
Panji Natara dan digubah lagi oleh
Bratakesawa yang bunyinya seperti ini:
“Kowe padha kuwalik panemumu, angira
donya iki ngalame wong urip, akerat kuwi
ngalame wong mati; mulane kowe pada
kanthil-kumanthil marang kahanan ing donya,
sarta suthik aninggal donya.”
(“Terbalik
pendapatmu, mengira dunia ini alamnya orang
hidup, akherat itu alamnya orang mati.
Makanya kamu sangat lekat dengan
kehidupan dunia, dan tidak mau meninggalkan
alam dunia”)
Pertanyaan yang muncul dari tembang Syech
Siti Jenar adalah: Kalau dunia ini bukan
alamnya orang hidup, lalu alamnya siapa?
Syech Siti Jenar menambahkan penjelasannya:
“Sanyatane, donya iki ngalame wong mati,
iya ing kene iki anane swarga lan naraka,
tegese, bungah lan susah. Sawise kita
ninggal donya iki, kita bali urip langgeng, ora
ana bedane antarane ratu karo kere, wali
karo bajingan.”
(Kenyataannya, dunia ini
alamnya orang mati, iya di dunia ini adanya
surga dan neraka, artinya senang dan susah.
Setelah kita meninggalkan alam dunia ini, kita
kembali hidup langgeng, tidak ada bedanya
antara yang berpangkat ratu dan orang miskin,
wali ataupun bajingan”)
Dari pendapat Syech Siti Jenar itu kita bisa
belajar, bahwa hidup di dunia ini yang serba
berubah seperti roda (kadang berada di
bawah, kadang berada di atas), besok
mendapat kesenangan, lusa memperoleh
kesusahan, dan itu bukanlah merupakan hidup
yang sejati ataupun langgeng.
Wejangan beberapa leluhur mengatakan:
“Urip sing sejati yaiku urip sing tan keno
pati”.
(hidup yang sejati itu adalah hidup yang
tidak bisa terkena kematian). Ya, kita semua
bakal hidup sejati. Tetapi permasalahan yang
muncul adalah, siapkah kita menghadapi hidup
yang sejati jika kita senantiasa berpegang
teguh pada kehidupan di dunia yang serba
fana?
Ajaran para leluhur juga menjelaskan:
“Tangeh lamun siro bisa ngerti
sampurnaning pati, yen siro ora ngerti
sampurnaning urip.”
(mustahil kamu bisa
mengerti kematian yang sempurna, jika kamu
tidak mengerti hidup yang sempurna).
Oleh karena itu, kita wajib untuk menimba
ilmu agar hidup kita menjadi sempurna dan
mampu meninggalkan alam dunia ini menuju
ke kematian yang sempurna pula.

Minggu, 25 September 2011

ARTI & MAKNA HURUF JOWO

Ha :Hana hurip wening suci=Adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci.
Na :Nur candra, gaib candra, warsitaning candara=
Pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi.
Ca :Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi= Arah dan
tujuan pada Yang Maha Tunggal
Ra :Rasaingsun handulusih = Rasa cinta sejati muncul
dari cinta kasih nurani
Ka :Karsaningsun memayuhayuning bawana = Hasrat
diarahkan untuk kesajetraan alam
Da :Dumadining dzat kang tanpa winangenan =
Menerima hidup apa adanya
Ta :Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa = Mendasar,
totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup
Sa :Sifat ingsun handulu sifatullah= Membentuk kasih
sayang seperti kasih Tuhan
Wa :Wujud hana tan kena kinira = Ilmu manusia
hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas
La :Lir handaya paseban jati = Mengalirkan hidup
semata pada tuntunan Illahi
Pa :Papan kang tanpa kiblat = Hakekat Allah yang
ada disegala arah
Dha :Dhuwur wekasane endek wiwitane = Untuk bisa
diatas tentu dimulai dari dasar
Ja :Jumbuhing kawula lan Gusti = Selalu berusaha
menyatu, memahami sifat dan kehendak- Nya
Ya :Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi
= Percaya dan Yakin atas titah / kodrat Illahi
Nya :Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki =
Memahami kodrat kehidupan
Ma :Madep mantep manembah mring Ilahi = Yakin/
mantap dalam menyembah Ilahi
Ga :Guru sejati sing muruki = Belajar pada guru nurani
Ba :Bayu sejati kang andalani = Menyelaraskan diri
pada gerak alam
Tha :Tukul saka niat = Sesuatu harus dimulai dan
tumbuh dari niat yang suci
Nga :Ngracut busananing manungso = Melepaskan
egoisme pribadi manusia.
Adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci -
pengharapan manusia hanya
selalu ke sinar Illahi - satu arah dan tujuan pada Yang
Maha Tunggal - rasa cinta sejati muncul dari cinta
kasih nurani - hasrat diarahkan untuk kesajetraan
alam - menerima hidup apa adanya - mendasar,
totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup
- membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan - ilmu
manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa
tanpa batas - mengalirkan hidup semata pada
tuntunan Illahi - Hakekat Allah yang ada disegala arah
- Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar - selalu
berusaha menyatu, memahami sifat dan kehendak
Nya – percaya dan yakin atas titah / kodrat Illahi -
memahami kodrat kehidupan - yakin / mantap dalam
menyembah Ilahi - belajar pada guru nurani -
menyelaraskan diri pada gerak alam - sesuatu harus
dimulai - tumbuh dari niat yang suci - melepaskan
egoisme pribadi manusia.

SASTRO JENDRO HAYUNINGRAT

Sastra Jendra Hayuningrat.
Dalam tataran keilmuan orang jawa ada beberapa hal
yang harus ditempuh jika seseorag ingin mencapai
kesempurnaan hidup,salah satunya tataran yang
harus dilewati tertuang dalam kitab baswalingga
karya pujangga besar jawa ki rangga warsita.tataran
keilmuan yang termahtub dalam kitab karya rangga
menurut ki rangga warsita bahwasannya sastra
jendra hayuningrat adalah jalan atau cara untuk
mencapai kesempurnaan hidup berdasarkan falsafah
ajaran budha,dan apabila semua orang menaati
semua ajaran sastra tadi niscaya bumi akan
sejahtera,
nama lain dari sastra jendra hayuningrat adalah sastra
cetha alias sastra tanpa papan dan sastra tanpa
tulis,walaupun tanpa tulis dan papan tapi maknanya
terang dan bisa digunakan sebagai serat
papakem paugeraning gesang.
untuk mencapai sastra cetha ada 7 tahapan yg
harus dilalui ya
itu:

1.Tapaning Jasad: mengendalikan atau menghentikan
gerak tubuh dan gerak fisik lainnya,lakunya tidak
dendam ,sakit hati .semua hal diterima dengan
legawa-tabah dengan kesungguhan hati alis tan milih
tan nolak.
2.Tapaning Budhi:artinya menghilangkan perbuatan yang
hina (nista) dan hal hal yang tidak jujur
3.Tapaning hawa nafsu:mengendalikan nafsu atau sifat
angkara murka dari pribadi kita.lakunya sabar dan
selalu berusaha menyucikan diri,punya perasaan
dalam,mudah memberi maaf dan taat pada tuhan
yang maha esa.
4.Tapaning Cipta:artinya memperhatikan perasaan
secara sungguh sungguh atau dalam bahasa jawanya
ngesti sarasaning raos ati,berusaha sekuat tenaga
menuju heneng–meneng-khusyuk-tumaknina,sehingga
hasilnya tidak akan diombang ambingkan oleh
siapapun dan apapun dan yang akhir selalu hening-
wening atau waspada supaya bisa konsentrasi ke
alloh swt
.
5.Tapaning Sukma:dalam tahapan ini kita fokus ke
ketenangan jiwa.amalnya ikhlas dan memperluas
rasa kedermawanan kita dengan memberi derma
kepada fakir miskin secara iklas
6.Tapaning cahya:maknanya dalam tataran ini selalu
eling,awas dan waspada.sehingga hasilnya kita
mempunyai daya meramalkan sesuatu secara tepat
alis waskitha,amal eling dan waspada diikuti dengan
menghindari hal hal yang bersifat glamour dunia atau
memabukan yang mengakibatkan batin kita menjadi
samar.
7.Tapaning gesang:dalam tahapan akhir ini kita
berusaha sekuat tenaga dengan hati hati menuju
kesempurnaan hidup dan taat pada Tuhan Yang
Mahaesa.
ilmu sastra jendra yang kami terangkan diatas
berdasarkan kebatinan jawa,sastra ini bermakna
mantra berdasarkan ilmu pengetahuan dengan kata
lain ilmu untuk memupuk kesejahteraan dunia
(memayu hayuning bawana). yang berasal dari
bathara indra yang juga bermakna endra loka alias
pusat tubuh manusia yang berada di dalam rongga
dada(jantung),pusat dalam kaitan diatas bermakna
sumber atau rasa sejati-ambang batas.hayu-ing-rat
artinya menuju keselamatan dunia.

KIDUNG RUMEKSO ING WENGI

Kidung Rumekso Ing Wengi
By Kanjeng Wali Sunan Kalijogo
Ana kidung rumeksa ing wengi,
Teguh ayu luputa ing lara,
Luputa bilahi kabeh,jin setan datan purun,
Paneluhan tan ana wani, miwah panggawe ala,
Gunane wong luput, geni anemahan tirta,
Maling adoh tan ana ngarah ing kami, guna duduk
pan sirna.
Sakehin lara pan samja bali,
Sakehing ama sami miruda, welas asih pandulune,
Sakehing bradja luput, kadi kapuk tibanireki,
Sakehing wisa tawa, sato kuda tutut,
Kayu aeng lemah sangar songing landak,
Guwaning mong lemah miring, mjang pakiponing
merak.
Pagupakaning warak sakalir,
Nadyan artja mjang sagara asat,
Satemah rahayu kabeh, dadi sarira aju,
Ingideran mring widhadari, rinekseng malaekat,
Sakatahing rusuh, pan dan sarira tunggal,
Ati Adam utekku Bagenda Esis, pangucapku ya Musa.
Napasingun Nabi Isa luwih,
Nabi Yakub pamiyarsaningwang,
Yusuf ing rupaku mangke,
Nabi Dawud swaraku,
Yang Suleman kasekten mami,
Ibrahim nyawaningwang,
Idris ing rambutku, Bagendali kulitingwang,
Abu Bakar getih, daging Umar singgih, balung
Bagenda Usman.
Sungsumingsun Fatimah Linuwih,
Siti Aminah bajuning angga,
Ayub minangka ususe, sakehing wulu tuwuh,
Ing sarira tunggal lan Nabi, Cahyaku ya Muhammad,
Panduluku Rasul, pinajungan Adam syara",
Sampun pepak sakatahing para nabi, dadi sarira
tunggal.
Wiji sawiji mulane dadi, pan apencar dadiya isineng
jagad,
Kasamadan dening Dzate kang moho suci.

WIRID HIDAYAT JATI

Wirid Hidayat Jati, karya (R Ngabehi Ronggowarsito)
Wejangan ke-1 Ananing Dat
Sajatine ora ana apa-apa awit duk maksih awang-
uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhingin
Ingsun, sajatine kang maha suci anglimputi ing
sipatIngsun, anartani ing asmanIngsun, amratandhani
ing apngalIngsun.
Wejangan ke-2 Wahananing Dat
sajatine Ingsun dat kang amurba amisesa kang
kawasa anitahake sawiji-wiji, dadi sanalika,
sampurna saka kodrat Ingsun, ing kono wus kanyatan
pratandhaning apngalIngsun kang minangka
bebukaning iradatIngsun, kang dhingin Ingsun
anitahake kayu aran sajaratulyakin tumuwuh ing
sajroning alam ngadammakdum ajali abadi. Nuli
cahya aran nur muhammad, nuli kaca aran
mirhatulkayai, nuli nyawa aran roh ilapi, nuli damar
aran kandil, nuli sesotya aran darah, nuli dhindhing
jalal aran kijab. Iku kang minangka warananing
kalaratIngsun.
Wejangan ke-3 Kahananing Dat
Sajatine manungsa iku rahsanIngsun lan Ingsun iku
rahsaning manungsa, karana Ingsun anitahake adam
asal saka anasir patang prakara, bumi, geni, angin,
banyu. Iku kang dadi kawujudaning sipat Ingsun, ing
kono Ingsun panjingi mudah limang prakara, nur,
rahsa, roh, napsu, budi. Iya iku minangka warananing
wajah Ingsun kang maha suci.
Wejangan ke-4 Pambukaning tata malige ing dalem
betalmakmur
sajatine Ingsun anata malige ana sajroning
betalmakmur, iku omah enggoning parameyanIngsun,
jumeneng ana sirahing Adam. Kang ana sajroning
sirah iku dimak, yaiku utek, kang ana antaraning utek
iku manik, sajroning manik iku budi, sajroning budi iku
napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma
iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana
Pangeran anging Ingsn, dat kang nglimputi ing kaanan
jati.
Wejangan ke-5 Pambuka tata malige ing dalem
betalmukarram
sajatine Ingsun anata malige sajroning
betalmukarram, iku omah enggoning
lalaranganIngsun, jumeneng ana ing dhadhaningg
adam. Kang ana sajroning dhadha iku ati, kang ana
antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi,
sajroning budi iku jinem , yaiku angen-angen,
sajroning angen-angen iku suksma, sajroning suksma
iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana
pangeran anging Ingsun dat kang anglimputi ing
kaanan jati
Wejangan ke-6 Pambuka tata malige ing dalem
betalmukadas
sajatine Ingsun anata malige ana sajroning
betalmukadas, iku omah enggoning pasucenIngsun,
jumeneng ana ing kontholing adam. Kang ana
sajroning konthol iku prinsilan, kang ana ing
antaraning pringsilan ikku nutpah, yaiku mani,
sajroning mani iku madi, sajroning madi iku wadi,
sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku
rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana pangeran
anging Ingsun dat kang anglimputi ing kaanan jati,
jumeneng sajroning nukat gaib, tumurun dadi johar
awal, ing kono wahananing alam akadiyat, wahdat,
wakidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, alam
insan kamil, dadining manungsa sampurna yaiku
sajatining sipatIngsun. Nasehat ke-6 Pembuka tahta
dalam baitulmuqaddas Wejangan ke-7 Panetep
santosaning iman
Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran anging
Ingsun lan anekseni Ingsun satuhune muhammad iku
utusan Ingsun
Wejangan ke-8 Sasahidan Ingsun
anekseni ing DatIngsun dhewe, satuhune ora ana
Pangeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun
satuhune muhammad iku utusanIngsun. Iya sejatine
kan aran Allah iku badanIngsun, rasul iku
rahsaNingsun, muhammad iku cahayaNingsun. Iya
Ingsun kang urip tan kena ing pati, iya Ingsun kang
eling tan kena ing lali, iya Ingsun kang langgeng ora
kena owah gingsir ing kaanan jati, iya Ingsun kang
waskitha, ora kasamaran ing sawiji-wiji. Iya Ingsun
kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora
kekurangan ing pakerthi, byar sampurna padhang
terawangan, ora karasa apa-apa, ora ana katon apa-
apa, amung Ingsun kang anglimputi ing alam kabeh
kalawan kodratIngsun
R Ngabehi Ronggowarsito
.