Puji Suci Marang Gusti,Kawulo Tansah Ngabekti...

Selasa, 27 September 2011

LAKON BIMO SUCI

Lakon ini amat digemari di kalangan kasepuhan
karena mengandung permenungan mendalam
tentang asal dan tujuan hidup manusia (sangkan
paraning dumadi) dan menjawab kerinduan hidup
dalam perjalanan rohani orang jawa untuk bersatu
dengan Tuhan (manunggaling kawulo Gusti; curiga
manjing warangko).
Begitu disenangi dan diulang-ulang sebagai bahan
permenungan, maka kisah ini memilik variasi-variasi
bahkan menyimpang dari lakon awalnya, tergantung
siapa yang menyalin kisah ini, siapa dalang yang
memainkan lakon dalam pertunjukan wayang.
Poerbotjaroko, tahun 1940 menyelidiki variasi-variasi
naskah dan menemukan kurang lebih 29 buah naskah
Bima Suci. 19 buah naskah tersimpan di Universitas
Leiden Belanda.
Dalam disertasinya untuk memperoleh gelar doctor
tahun 1930, Prijohoetomo membandingkan dua kisah :
Nawaruci dan Dewaruci. Kitab Nawaruci yang juga
dikenal dengan nama Sang Hyang Tat-twajnana
(kitab tentang hakekat hidup) ditulis oleh Empu
Siwamurti (th. 1950-an) dengann latar belakang
budaya Kerajaan Majapahit. Pada jaman itu mistik
Islam mulai masuk dalam budaya Jawa, dan kisah
Nawaruci digubah menjadi lakon Dewaruci (dengan
dimasuki unsur-unsur Islam) dan dipentaskan dalam
dunia perwayangan.
Alur ceritera Dewaruci/Bima Suci dipengaruhi oleh
kisah Markandeya dari India. Di kisahkan Markandeya
mengarungi kedalam samudera dan berjumpa dengan
anak kecil. Anak kecil itu bernama Narayana, jelmaan
dari Dewa Wisnu. Narayana meminta Markandeya
masuk dalam tubuhnya untuk menyaksikan seluruh isi
alam semesta. Dalam kisah ini tokoh Bima tidak ada.
Dari berbagai kisah Bima Suci yang bervariatif itu
dapat ditemukan benang merahnya.
Alkisah, Bima atas perintah gurunya (Durno) mencari
“Banyu Perwitasari”. Dalam perjalanan mencari air
kehidupan, Bima menuju hutan Tikbrasara (berarti
landeping cipta) yang terletak di gunung ReksaMuka
(yang artinya Mata). Di hutan ini Bima dihadang oleh
dua raksasa Rukmuka (berarti kamukten) dan
Rukmokala (yang berarti Kamulyan). Bima mampu
mengalahkan ke dua raksasa itu.
Untuk memperoleh “inti sari pengetahuan
sejati” (Perwitasari), Bima harus melalui samadi (yang
dilambang dengan hutan Tibaksara dan gunung
Reksomuka =Mata/pemahaman yang mendalam).
Bima tidak bisa mencapai titik penyatuan mata batin
dalam samadi kalau tidak ‘membunuh’ pikiran tentang
kamukten dan kamulyan.
Kisah selanjutnya, Bima tahu bahwa air ‘perwitasari’
tidak terletak di hutan Tikbrasara yang ada di gunung
Reksamuka, tetapi di dasar samudera. Maka
perjalanan dilanjutkan ke dasar samudra (samudra
pangaksama=pengampunan). Dalam samudra
bertarung dengan naga (symbol kejahatan/
keburukan) dan Bima berhasil membunuhnya.
Untuk memperoleh air perwitasari tidak cukup dengan
membuang kamukten dan kamulyan tetapi harus
juga berani mengampuni kepada orang-orang yang
bersalah dan membunuh kejahatan yang ada dalam
dirinya (masuk samudra pengampunan dan
membunuh naga kejahatan).
Setelah melampaui berbagai rintangan, akhirnya Bima
ketemu Dewaruci, yang persis dengan dirinya namun
dalam ukuran kecil. Bima masuk ke badan Dewaruci
melalui telinga kanan dan di dalam diri Dewaruci,
Bima melihat seluruh isi semesta alam.
Bima dengan samadi secara benar : menutup mata,
mengatur nafas, konsentrasi dengan pikiran dan
perasaan yang bersih (Cipta Hening). Dalam samadi
ini, Bima menerima Terang atau wahyu sejati dalam
samadi: “manunggaling kawula gusti”, kesatuan
manusia dengan Tuhan. Dalam jati diri terdalam,
manusia bersatu dengan Tuhan. Kemanunggalan ini
yang menjadikan manusia mampu melihat hidup
yang sejati. Dalam istilah kejawen: Mati sakjroning
urip, urip sakjroning mati. Inilah perjalanan rohani
untuk masuk dalam “samudera menanging kalbu”.

3 komentar: